Sesungguhnya masjid adalah rumah milik Allah. Tempat untuk berdzikir, membaca al-Qur’an, menunaikan sholat berjama’ah dan mengadakan majelis-majelis ilmu yang mengajarkan tauhid, keimanan dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar manusia terbebas dari cengkeraman syirik, kekafiran, bid’ah, kemaksiatan serta belenggu fanatisme golongan, agar mereka menjadi orang-orang yang bersaudara dan saling mencintai karena Allah serta membenci musuh-musuh Allah.
Oleh sebab itu dapat kita lihat dalam lembaran sejarah, bagaimana masjid Nabawi yang dibangun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya menjadi pusat kebangkitan Islam sehingga membuat orang-orang kafir marah dan geram. Dari masjid itulah dilahirkan para ulama, penguasa yang adil, panglima jihad, pedagang yang bertakwa, para orang tua yang memperhatikan pendidikan anak-anaknya, ibu-ibu dan remaja putri yang menyimpan rasa malu dan menjaga kehormatan dirinya, para pemuda yang tekun beribadah kepada Rabbnya, dan anak-anak yang berbakti dan menghormati ayah bundanya. Inilah keadaan masjid di masa generasi pertama, generasi terbaik dalam lembaran sejarah kemanusiaan, yaitu para sahabat radhiyallahu’anhum ajma’in.
Allah ta’ala berfirman,
مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنْ الْمُهْتَدِينَ
“Tidak pantas bagi orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-masjid Allah seraya mempersaksikan kekafiran pada diri mereka sendiri. Mereka itu adalah orang-orang yang terhapus amal-amal mereka dan mereka akan kekal di dalam neraka. Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak merasa takut kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka itu termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. at-Taubah: 17-18)
Ibnu Jarir at-Thabari rahimahullah berkata,
إن المساجد إنما تعمر لعبادة الله فيها، لا للكفر به، فمن كان بالله كافرًا، فليس من شأنه أن يعمُرَ مساجد الله
“Sesungguhnya masjid-masjid itu dimakmurkan dalam rangka beribadah kepada Allah di dalamnya, bukan untuk melakukan kekafiran di dalamnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah maka tidak boleh baginya untuk ikut serta memakmurkan masjid-masjid Allah.” (Tafsir at-Thabari [14/165] as-Syamilah)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,
وفي المراد بالعِمارة قولان .أحدهما : دخوله والجلوس فيه . والثاني : البناء له وإصلاحه؛ فكلاهما محظور على الكافر
“Ada dua penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan memakmurkan –masjid-. Pertama: Masuk dan duduk-duduk di dalamnya. Kedua: Membangun dan memperbaikinya. Maka kedua hal itu terlarang bagi orang kafir.” (Zaad al-Masiir [3/158] as-Syamilah)
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri hafizhahullah berkata,
أن الذين يعمرون مساجد الله حقاً وصدقاً هم المؤمنون الموحدون الذين يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويخشون الله تعالى ولا يخشون سواه هؤلاء هم الجديرون بعمارة المساجد بالصلاة والذكر والتعلم للعلم الشرعي فيها
“Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar tulus dan jujur dalam memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang bertauhid, yang mereka itu senantiasa mendirikan sholat, menunaikan zakat, merasa takut kepada Allah ta’ala dan tidak takut kepada selain-Nya. Mereka itulah yang paling layak untuk memakmurkan masjid dengan sholat, dzikir, dan kegiatan belajar dan mengajar ilmu syar’i di dalamnya…” (Aisar at-Tafasir [2/66] as-Syamilah)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
وأما من لم يؤمن باللّه ولا باليوم الآخر، ولا عنده خشية للّه، فهذا ليس من عمار مساجد اللّه، ولا من أهلها الذين هم أهلها، وإن زعم ذلك وادعاه
“Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak juga kepada hari akhir serta tidak memiliki rasa takut kepada Allah maka orang seperti itu bukan termasuk orang yang berhak memakmurkan masjid-masjid Allah, bukan pula termasuk orang-orang yang benar-benar mencintainya meskipun dia mengklaim hal itu pada dirinya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/331] as-Syamilah)
Dari Abul Ahwash, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan,
لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ حَتَّى يَأْتِيَ الصَّلَاةَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ
“Sungguh aku masih ingat bahwa dahulu –di masa Nabi- tidak ada orang yang sengaja meninggalkan sholat –berjama’ah di masjid- melainkan orang munafik yang telah diketahui dengan jelas kemunafikannya atau orang yang sedang sakit. Bahkan, orang yang sedang sakit di kala itu ada yang memaksakan dirinya untuk berjalan sembari dipapah diantara dua orang lelaki untuk bisa mendatangi sholat jama’ah.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita jalan-jalan petunjuk. Sesungguhnya sholat berjama’ah di masjid yang dikumandangkan adzan padanya adalah termasuk jalan petunjuk.” (HR. Muslim)
Dalam jalur riwayat yang lain, Ibnu Mas’ud mengatakan,
وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ
“Seandainya kalian sholat di rumah kalian sebagaimana orang yang sengaja meninggalkan sholat jama’ah ini sehingga dia memilih untuk sholat di rumahnya maka itu artinya kalian telah meninggalkan Sunnah/ajaran Nabi kalian. Dan apabila kalian telah meninggalkan Sunnah Nabi kalian maka pastilah kalian akan tersesat.” (HR. Muslim)
Dari keterangan-keterangan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa:
- Orang yang layak untuk memakmurkan masjid adalah orang-orang ‘tertentu’ saja, tidak semua orang. Mereka yang layak untuk itu adalah: orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, yang mendirikan sholat –dan sholat berjama’ah di masjid termasuk di dalamnya-, menunaikan zakat, dan yang memiliki rasa takut kepada Allah. Salah satu ciri utama orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir adalah mengembalikan segala perselisihan kepada al-Kitab dan as-Sunnah, bukan kepada budaya warisan nenek moyang atau pendapat kebanyakan orang (baca: demokrasi). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian, apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik untuk kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’: 59). Begitu pula, ciri orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir adalah mencintai golongan Allah dan membenci musuh-musuh Allah. Bukankah Allah berfirman (yang artinya), “Tidak akan kamu jumpai orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka justru berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya…” (QS. al-Mujadilah: 22).
- Masjid dibangun bukan untuk kepentingan ‘kelompok tertentu’, akan tetapi untuk mewujudkan penghambaan kepada Allah semata (baca: tauhid) dan mengingatkan manusia akan hakekat hidup mereka di alam dunia ini. Dan hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan menegakkan ubudiyah secara benar di dalamnya yang dilandasi dengan keikhlasan dan kesetiaan mengikuti Sunnah/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu orang-orang musyrik atau para penebar kebid’ahan tidak layak untuk memakmurkan masjid dengan kemaksiatan mereka kepada Allah dan rasul-Nya. Demikian pula orang-orang yang menjadikan masjid sebagai sarana untuk merekrut massa demi memperbanyak jumlah suara dalam pemilihan umum, maka masjid adalah tempat yang harus dibersihkan darinya! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu seperti orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah agamanya, sehingga mereka pun bergolong-golongan, setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada padanya.” (QS. ar-Ruum: 31-32)
- Untuk bisa memakmurkan masjid maka diperlukan pendidikan keimanan dan petunjuk hidup yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sebuah ungkapan yang sudah sangat populer dari Imam Bukhari rahimahullah bahwa ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan. Maka alangkah sangat mengherankan jika ada sebagian orang yang justru alergi berat –bahkan mencemooh- terhadap kajian-kajian tauhid dan sunnah yang diadakan secara terbuka di masjid-masjid dengan berbagai alasan yang dicari-cari; eksklusif-lah, ekstrim-lah, tidak mengundang khalayak –padahal publikasi sudah tersebar kemana-mana [?]-, “Itu kan khusus untuk kelompok kalian” [?] –Subhanallah, ini adalah kedustaan yang nyata! Benarlah perkataan orang, “Pandangan senang itu mengubah segalanya menjadi indah, sedangkan pandangan kebencian menjadikan segalanya tampak sebagai keburukan.”– Seolah-olah mereka ingin mengatakan, “Lebih baik masjid kami ramai dengan tahlilan dan campur sari daripada kajian tauhid dan daurah yang kalian adakan….” [?!] Maha suci Allah, adakah bid’ah lebih baik daripada Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam?
- Hanya ada dua pilihan, menjadikan masjid sebagai sarana mewujudkan nilai-nilai keimanan dan menebarkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah menjadikan masjid sebagai kendaraan politik berbagai kelompok yang mengaku memperjuangkan Islam padahal sebenarnya merekalah yang menghancurkannya! Oleh sebab itu wajib bagi para pengurus masjid untuk bertakwa kepada Allah, dan tidak memihak siapapun kecuali pihak yang tegak di atas al-Kitab dan Sunnah Rasulullah serta benar-benar memperjuangkan tegaknya tauhid dan Sunnah di tengah-tengah umat. Dan hal itu tentu saja tidak akan terwujud jika para pengurus masjid itupun ternyata tidak paham tentang akidah Islam yang benar, tidak paham tentang Sunnah dan bid’ah, tidak paham tentang siapakah yang harus dibela dan siapa yang harus dimusuhi, tidak mengenal siapa kawan dan siapa lawan. Bekerja sama dalam kebaikan dan takwa tidak akan terwujud jika para pelakunya pun tidak paham apa yang dimaksud dengan kebaikan dan takwa itu yang sesungguhnya. Para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya lebih banyak daripada yang diperbaikinya.” Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya! Oleh sebab itu, jangan anda heran jika di masa sekarang ini para Ruwaibidhah –orang bodoh yang turut campur dalam urusan umat- dan ahlul bida’ angkat bicara dan dinobatkan sebagai pembesar dan tokoh masyarakat, Allahul musta’aan! Bahkan yang lebih mengherankan lagi, ketika sebagian kaum muslimin seolah tak berkutik ketika takmir masjidnya berada di bawah kendali kaum kufar dan campur tangan mereka –saking getolnya dalam turut campur urusan masjid, maka mereka pun mempropagandakan bahwa masjid mereka itu adalah masjid nasional [?] dengan maksud untuk menolak dakwah al-Haq-… Padahal Allah ta’ala berfirman dengan tegas dalam ayat-Nya (yang artinya), “Barangsiapa di antara kalian yang menjadikan mereka –orang kafir- sebagai penolong, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” (QS. al-Ma’idah: 51). Sekarang, tersisa dua pilihan bagi anda; menyerahkan urusan ini kepada orang-orang yang membela Allah dan rasul-Nya ataukah kepada orang-orang yang justru memusuhi Allah dan rasul-Nya? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seandainya kebenaran itu terpaksa harus mengikuti hawa nafsu mereka niscaya akan hancurlah langit dan bumi serta segala apa yang ada di dalamnya.” (QS. al-Mu’minun: 71). Memang, masjid bukan milik kami, tapi ia juga bukan milik kalian, akan tetapi ia adalah milik Allah ‘azza wa jalla! Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang masih memiliki akal pikiran….